Minggu, 26 Januari 2014

Ah…. Lucunya teman saya ini.



Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan saya sebelimnya (Perlu Ditelusuri Letak Kesalahannya) di tumblr saya. Kali ini saya akan berbagi bagaimana lucunya teman saya.

Pada semester pertama merupakan awal yang baik bagi saya sebagai mahasiswa baru. Alhamdulillah saya mendapat IP (Indeks Prestasi) cumlaude. Perlu diketahui juga dalam satu rombel di kelas saya, saya adalah satu-satunya mahasiswa dari Kediri-Jawa Timur. Jadi jangan heran jika saya tidak pernah terlibat sama yang namanya “genk”. Saya juga tidak suka duduk di bangku belakang karena saya suka ngantuk kalau mengikuti perkuliahan. Oleh karenanya, saya harus duduk di bangku depan. Disamping ngantuk, saya juga kepingin mandiri agar tidak sering menyusahkan teman saya untuk menjelaskan kembali mata kuliah yang kurang saya pahami.

Kuliah adalah masa dimana dituntut keaktifan kita dan ketelatenan dalam memahami serta mengerjakan tugas yang diberikan dosen dengan cara kita sendiri. Cara yang kita gunakanpun juga tergantung pulihan kita. Pilih cara mudah, sulit, lama atau cepet. Kemampuan berpikir kritis dan berani out of the box juga merupakan elemen penting. Bagaimana kita menyelesaikan kasus dan mencari solusinya menurut pandangan kita sendiri. Nah, setelah itu baru dosen yang berbicara. Dosen yang memberikan penilaian terhadap diri kita. Dan satu lagi yang tidak boleh dilupakan, tangan Allah akan turut berbicara. Allah akan memberikan hadiah keberuntungan kepada kita sesuai dengan seberapa besar usaha yang kita lakukan untuk menjemput keberuntungan itu.

Kembali pada topik awal. Teman saya yang lucu. Suatu hari di semester dua kemarin, saya duduk di belakangnya. Dia tahu IP saya cumlaude dan saya juga tahu IPnya belum cumlaude terlihat dari jumlah sks mata kuliah yang kami ambil berbeda. Dia pandai dan tergolong kritis. Tapi satu, (ya…ini sih penilaian saya) dia kurang berkenan berbagi ilmu termasuk kepada saya. Ya memang benar, ilmu itu mahal harganya men!! Tapi menurut saya, selagi saya bisa menjawab, selagi ilmu yang saya bagikan itu tidak mengurangi ilmu saya dan tidak merugikan saya serta tidak menyakiti diri saya, ya saya fine-fine saja kok berbagi. Toh itu secara tidak langsung saya memberi manfaat untuk orang lain. Yang penting ilmunya positif. Itu harus.

Baiklah, sebut saja namanya si A. Pagi itu sedang berlangsung mata kuliah Manajemen SDM. Seperti biasa ibu dosen menjelaskan dengan memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Setelah membahas contoh, tiba-tiba ibu dosen menyinggung masalah IP yang kemarin baru kami terima. Ibu dosen mengatakan bahwa IP tinggi atau IP cumlaude itu tidak terlalu penting. Yang terpenting itu kualitas diri kita itu apakah patut dihargai dengan IP yang kita terima. Selain itu beliau juga menjelaskan bahwa di dunia kerja nanti, IP tidak terlalu dipermasalahkan perusahaan. Bahkan mereka yang IPnya tinggi kebayakan lebih dinomor dua kan karena orang dengan IP diatas 3,5 cenderung susah diatur dan lebih semaunya sendiri ketika bekerja. Makanya perusahaan lebih memilih merekrut karyawan dengan IP standar-standar saja. Kemudian beliau tersenyum sambil menasihati agar mahasiswa tidak terlalu berambisi dengan IP tinggi dan teman-teman yang IP nya belum cumlaude jangan putus asa. Demikian nasihat beliau.

Lah, teman didepan saya (si A) tiba-tiba dia menghadap kebelakang, ke arah saya. Kalau saya tidak salah ingat dia berkata, “Nah itu Lin dengerin. IP tinggi itu gak terlalu penting, yang penting kualitasnya.” Saya lantas bertanya,” Lalu apa salahnya saya dapat IP tinggi? Apa saya harus menjelek-jelekkan IP saya? Begitu?”, Yap! Jujur saya sedikit emosi. Yang saya heran, saya dapat IP sebesar itu kan karena saya juga tidak berdiam diri lalu tiba-tiba dapat IP cumlaude. Saya juga belajar, tanya teman, mengerjakan tugas, masuk kuliah, sering tidur larut dan saya juga berdoa. Toh yang ngasih nilai itu kan dosennya, bukan saya. Selain itu, tanya sama dia pun saya jarang. Saya juga masih ingat kok ketika itu ulangan Matematika Ekonomi, saya berniat tanya soalnya. Eh malah dia menjawab “Gak tau, aku belum”. Dan sejak saat itu saya ingat-ingat betul dalam otak saya bahwa saya tidak boleh bertanya lagi padanya. Jika Anda mengalami hal yang sama ketika bertanya pada teman Anda dan mendapat jawaban demikian, itu adalah salah satu tanda bahwa teman Anda tidak berkenan untuk diganggu dan berbagi. :)

Saya terkadang heran, salah saya apa ya mendapat IP cumlaude? Saya tidak bertanya padanya, saya tidak mengganggunya, saya juga belajar, tidak memohon-mohon pada dosen untuk memberi nilai A. tetapi mengapa seolah-olah saya itu tidak patut dipercayai mendapat IP cumlaude bagi mereka. Ya mungkin memang saya ini tidak sepintar mereka, tapi kenapa malah saya yang dapat IP cumlaude :D hehehe resiko jadi orang yang belum pintar. Tapi saya besyukur kok, berarti mereka yang berpikiran demikian pada saya termasuk peduli pada saya. Hehe. Dan cukup tau saja, di semester berikutnya, si A mendapat IP cumlaude. Apakah kalian tahu apa yang ingin saya tanyakan padanya?
“Loh, katanya IP tinggi nggak penting?” hahahaha. Tapi tidak lah, karena sejatinya mendapat IP tinggi itu adalah impian semua mahasiswa. Terutama mereka yang sudah banyak sekali melakukan usaha.

Oh ya, ada lagi teman saya yang mahir di suatu bidang mata kuliah. Suatu saat nilai saya pada bidang mata kuliah itu mendapat A sedangkan dia B. Saya rasanya juga terheran-heran dia kebingungan atas hasil tersebut. Padahal memang pada kenyataannya dia yang lebih pintar dari saya. Subhanallah, mungkin itu rejeki saya dari Allah.

Pelajaran yang dapat saya ambil dari kejadian-kejadian ini adalah bahwa tidak ada satu manusiapun yang mengetahui kehendak-NYA. Dan Allah tidak pilih kasih dalam mengijabah doa hamba-NYA.