Sabtu, 07 Maret 2015

Pikatan Pertama JOGJA

HUPLA…. balik lagi deh ke tempat yang setia mendengar ocehan saya yang ngalor-ngidul. Hm…. Kangen juga lama nggak ngetik. Hampir setengah tahun pula :’). Ditambah, trip ini udah berbulan-bulan lalu, tapi kagak ada sempet-sempetnya ngeblognya. Fuh,, ahsudahlah. Mengenaskan sekali blog ini, maafkanlah. Ga lama-lama berkata pengantar, ayoh mulai bercerita ;)!!

Tentang perjalanan lagi ^_^
Jumat, Sabtu, Minggu libur, eh ditambah Seninnya merah, kemana ya? Pulang kampung? Errr… bentaran lagi kan pemilu, masak mau bolak-balik. “Ke Jogja yuh Her”, celetuk Nia teman kos  saya yang paling imumut :P. “JOGJA? Wahh.. tapi tidurnya dimana Ni?” #mikir
”Tidur rumah budheku aja”, seperti kembang api tahun baru yang pecah mencar kemana-mana. “Beneran Tin?” saya coba mastiin biar nggak kecewa lagi. “Iya, her. Gimana? Mau nggak?”. Saya si mau-mau pasti, hehehe. “Ayuuhh Tin”. “Oke fix kita berangkat Jumat habis Jumatan yaaa”. YES, JOGJA WE ARE COMING!!

Hari Jumat datanggg. Oke nak, mari angkat ranselmu! Yeyyy. Semarang-Solo naik Taruna Rp 15.000. kami berangkat bertiga, saya ditemeni Nia dan Tina. Ohya, kami ke Jogjanya via Solo. Jadi Semarang-Solo, Solo-Klaten, Klaten-Jogja. Perjalanan Semarang-Solo lumanyan jugak, sekitar 3jam-an lebih. Ya… 4jam lah, dibulatin aja. Kami berangkat jam 2 siangan, nunggu orag pulang jumatan sambil nungguin Tina ngurus PKMnya.  Wushhhh, sekitar jam setengah lima-an sore kami sampai di pertigaan dari terminal Kartasura soalnya di terminalnya udah ga ada kendaraan yang ngebawa ke Jogja. Udah turun, sekarang nyegat bis yang ada tulisannya Solo-Jogja.

Catetan, jangan lupa yah, harus diinget-inget. Kalo sampe di pertigaan setelahnya Kartsura kesorean, itu ada calo yang nawarin taksi dan dia bakalan ngehalangi bis yang mau berhenti di pertigaan. Saran ane sih, jangan deh. Ngerogoh saku banget kalo dibandingin sama naik bis umum.
Bingung juga ga ada bis, mmm…. Jalan dikit dulu. Nemu pasar, masuk aja nyari musholla. Sholat dulu, biar bisa mikir. Setelah sholatnya udah, balik lagi ke jalan raya. Wiiwww, ada bis Solo-Jogja yang mau behenti kok, yeah.  Ke rumah budhenya Tina empat rebu ajah. Tapi penuhhhhhh men -_- #gapapalah.

Singkat cerita, udah turun di Klaten, di rumah budhenya Tina. Yuhh mandi, sholat, makan, tidur. Hmm cakep. Sabtunyaa, subuh-subuh udah bangun. Sholat, dandan, mulai mangkat ke Jogjah tercintah. Dari rumah budhenya Tina lanjut naik bis ke Jogja lagi. Gak terlalu mahal,  Rp 4.000,- saja per orang, turun di Prambanan. Ntar ke Jogjanya naik TransJogja.
                              
Ayolah, Prambanan dulu
“Udah di Prambanan nih, gak mampir sekalian?” tanya Tina. Umm gimana yak? Bener juga deh, kan udah terlanjur :P. Tiket masuknya Rp 30.000,- per orang Indonesia dewasa, ntar kalo anak-anak Indonesia atau WNA udah beda lagi neng.

Welcome di Candi Prambanan guysss. Sebelum masuk ke daerah candi, pakai batik dulu nihh. Kata mas-masnya, ini biar jadi ciri khas nya Indonesia. Batiknya cuma satu ukuran ya mentemen, jadi gak ngikutin ukuran badan kalian.

Jepret-jepret

Karena di Prambanan ini kita bisa ngetrip langsung ke candi-candi lain dan terkadang daripada kecapekan jalan naik turun batu-batu, ini nih disediain kereta unyu gitu :D Rp 7.500,- buat WNI.
Eh, ampir klupaan. Di Prambanan ada museum GRATIS-nya juga loh. Dalemnya juga rapih, ada gamelan, lukisan, miniaturnya Prambanan dan sekitaran Jogja, and soon layaknya museum pada umumnya.
Udah panas bingit, capcus lagi deh. Namanya juga “jalan-jalan”, yah emang harus sabar kepanasan. Bakalan beda lagi perasaannya kalo udah nyampe Halte TJ. 

Udah bayar Rp 3.000 , dan udah berada di dalemnya terus wusssssssssss beranngkat ke Jogja :D. Ni mentemen saya, yang kerudung ijo namanya Nia, lah yang imut-imut itu namanya Tina.
Karena ngidam kepingin ukur ketinggian bareng Tugu Jogja, yah ga ada salahnya say hello dulu ama tugu yang menjadi ikon dari kota yang terkenal dengan bakpia patoknya ini. Abis entu, jalan-jalan men, heyaaaa :D.


MALIOBORO
Katanyaa, kalo ke Jogja nggak ke Malioboro itu rasanya kayak beli bakso tanpa mie, tanpa kuah, dan tanpa saos kecap. Duhdek, ada-ada saja -__- Tapi beda lagi kata Wiki, Malioboro is a major shopping street in Yogyakarta. Apa aja ada di sana, mulai dari beraneka macam sandal, tas, gelang, baju, celana, atribut ke-Jawen, wes pokoke komplit lah. Aku bingung nyebutke siji-siji. Ehehehe .

BENTENG VREDERBURG
Gerimis tidak pernah salah turun, karena terkadang ia sedang ingin menemani perjalananmu. Iya, karena hujan pula yang turut mengisi ceritamu. Sore itu, setelah jalan-jalan dari Malioboro, kami bertiga, eh berempat sama temennya Nia (Joko) yang menyusul kami sebelumm kami menuju Malioboro bebarengan ke Benteng Vredeburg. Hm… seperti namanya yang sulit diucapkan, saya juga sulit menuliskan perasaan apa yang saat itu saya rasakan saking senengnya. Setelah foto-foto sedikit di depan, kami masuk ke area benteng. Tiketnya cuman eh maksudnya hanya  tiga ribu rupiah saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Kami berempat masuk dan berkeliling sebentar sebelum akhirnya hujan turun sangat deras sehingga mengharuskan kami meneduh dan menghentikan aktivitas berkeliling.

Dari informasi yang saya dapatkan di media searching  andalan, berdirinya Vredeburg berkaitan erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu. Sebenarnya pembangunan benteng ini merupakan usulan dari Belanda yang dalam sejarah disebutkan bahwa benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga atas kontrak politik (Perjanjian Giyanti) yang telah dilahirkan.



Nah… setelah dari benteng inilah kami berpisah. Nia kembali ke Purbalingga (mudik) dengan diantar Joko ke terminal, sedangkan saya dan Tina kembali ke rumah saudaranya Tina untuk menginap karena cuaca tidak mendukung untuk melakukan perjalanan pulang. Baru besoknya saya dan Tina harus menyudahi jalan-jalan men kami dan pulang ke Semarang.

Timakasih Allah.
Trimakasih Tina, Nia dan Joko.
Timakasih keluarga-nya Tina yang sudah banyak saya repotkan dan berkenan menerima saya apa adanya untuk merasakan keluarga baru yang lain.
Dan selalu, Trimakasih untuk perjalananku dan untuk Jogja-ku ;).
Semoga ada next time untuk kita bertemu lagi. Aamiin.

Kamis, 05 Maret 2015

Raga!

Hari ibu, beberapa bulan lalu, aku mengenalnya. Aku memanggilnya Raga. Aku tidak pernah tahu bagaimana Tuhan merencanakan ini, tetapi aku mengerti benar seperti apa doa-doaku selama ini. Dan seperti pasangan-pasangan yang lain kami mencoba merangkai kenangan. Tanpa rikuh, basa-basi, keromantisan seperti di novel-novel, dan tanpa status. Kerena katamu tidak ingin mempunyai ‘’status itu’’. Aku pergi, tapi katamu lebih baik untuk tetap berteman tetapi lebih dekat. Entahlah, aku sendiri terkadang bimbang mengartikannya. Kami menjalaninya seperti matahari menyinari bumi, bulan memberikan senyum setiap malam. Berjalan semestinya, sewajarnya. Tetapi tak mengelak ketika matahari mulai tertutup mendung, bulan menyelinap di balik awan. Kisah kami juga tidak jarang mengalami masalah. “Maaf”, katanya ketika kami sedang tak sama pendapat atau ada sempilan cemburu (mungkin).

Bercerita atau sekedar sharing membuat keakraban kami sedikit meningkat.”Harus saling mengerti”, katanya jika aku mulai seperti anak ABG yang baru mengenal yang namanya hubungan. Aku mengaguminya. Dari caranya mencintai keluarganya, kerja kerasnya, semangatnya, namun tidak dengan rasa pedulinya padaku. Tapi aku tahu itu. Benar-benar mengerti. Karena aku memang bukan siapa-siapanya. Sungguh, terkadang aku juga tak paham dengan perubahannya yang tiba-tiba. Terkadang cuek, dan terkadang pula aku merasa seperti dia tak ingin mengakhiri kisah kami. Ah Raga…. Kau selalu membuatku bingung.

Pagi ini pesan singkatmu kuterima, Raga. Kau menjelaskan tentang ‘’rencana tanggal 6-7 itu’’. Bukannya aku marah, dengan mengetahui rencanamu itu aku tahu sesuatu. Memang sepertinya kau tak ingin aku turut serta denganmu. Sebenarnya sempat terlintas ingin menanyakan alasanmu, tapi aku pikir kau ingin aku menyadarinya sendiri. Iya Raga, kamu ingin mempejelas cerita kita. Aku paham kau ingin aku tahu bahwa aku hanya perempuan yang kau ajak melihat sedikit kehidupanmu. Sebatas itu saja.

Tidak tahu alibi atau bagaimana, dia sering sekali meminta maaf dan mengalihkan masalah. Lalu kemudian akan membahas yang lain seperti sedang dalam suasana netral-netral saja. Benar atau salah, dia juga sering mengatakan lebih nyaman dan senang jika bersama dengan ‘teman-temannya’. Entah teman-teman yang mana yang dia maksud. Apakah aku termasuk? Atau itu merupakan sindirannya supaya aku memberi jarak darinya. Tak ketinggalan dia juga kerap mengatakan bahwa dia tidak tahu nyaris tidak sadar atas apa yang baru saja dilakukannya. Katanya “Aku sendiri juga nggak ngerti dengan apa yang aku lakukan”. Oh Tuhan, kenapa laki-laki ini membuat teorinya sendiri.

Bagaimanapun, aku perempuan biasa Raga. Tolong berikan teori yang sewajarnya juga. Tidak kupungkiri, setelah kehadiranmu ada salah satu sisi dari hidupku yang terisi. Ada sepi yang mulai berkurang. Ada waktu dimana aku geleng-geleng kegirangan saat menemukan namamu muncul di ponselku yang berbunyi. Dan entah, semuanya serasa berbeda setelah pagi tadi.

Awalnya aku berpikir ini merupakan masalah baru lagi Raga. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa kau adalah Raga yang kukenal dulu. Kau akan kembali membuat keadaan baik-baik saja. Ah… Raga, tolong berikan aku kejelasan. Sampai sore inipun tak kunjung engkau memberikan tanda-tanda perbaikan hubungan. Engkau seperti tak mempedulikanku malah. Aku harus bagaimana Raga?


Apa secepat ini aku harus mengucapkan terimakasih? Seperti dalam film-film, ketika berterimakasih dan maaf menjadi sebuah akhir dari hubungan. Lalu, hubungan apa yang aku maksud ini Raga? Aku juga tak mengerti. Sungguh, ini (sepertinya) akan membuat penat baru lagi dan lagi.---