Kamis, 05 Maret 2015

Raga!

Hari ibu, beberapa bulan lalu, aku mengenalnya. Aku memanggilnya Raga. Aku tidak pernah tahu bagaimana Tuhan merencanakan ini, tetapi aku mengerti benar seperti apa doa-doaku selama ini. Dan seperti pasangan-pasangan yang lain kami mencoba merangkai kenangan. Tanpa rikuh, basa-basi, keromantisan seperti di novel-novel, dan tanpa status. Kerena katamu tidak ingin mempunyai ‘’status itu’’. Aku pergi, tapi katamu lebih baik untuk tetap berteman tetapi lebih dekat. Entahlah, aku sendiri terkadang bimbang mengartikannya. Kami menjalaninya seperti matahari menyinari bumi, bulan memberikan senyum setiap malam. Berjalan semestinya, sewajarnya. Tetapi tak mengelak ketika matahari mulai tertutup mendung, bulan menyelinap di balik awan. Kisah kami juga tidak jarang mengalami masalah. “Maaf”, katanya ketika kami sedang tak sama pendapat atau ada sempilan cemburu (mungkin).

Bercerita atau sekedar sharing membuat keakraban kami sedikit meningkat.”Harus saling mengerti”, katanya jika aku mulai seperti anak ABG yang baru mengenal yang namanya hubungan. Aku mengaguminya. Dari caranya mencintai keluarganya, kerja kerasnya, semangatnya, namun tidak dengan rasa pedulinya padaku. Tapi aku tahu itu. Benar-benar mengerti. Karena aku memang bukan siapa-siapanya. Sungguh, terkadang aku juga tak paham dengan perubahannya yang tiba-tiba. Terkadang cuek, dan terkadang pula aku merasa seperti dia tak ingin mengakhiri kisah kami. Ah Raga…. Kau selalu membuatku bingung.

Pagi ini pesan singkatmu kuterima, Raga. Kau menjelaskan tentang ‘’rencana tanggal 6-7 itu’’. Bukannya aku marah, dengan mengetahui rencanamu itu aku tahu sesuatu. Memang sepertinya kau tak ingin aku turut serta denganmu. Sebenarnya sempat terlintas ingin menanyakan alasanmu, tapi aku pikir kau ingin aku menyadarinya sendiri. Iya Raga, kamu ingin mempejelas cerita kita. Aku paham kau ingin aku tahu bahwa aku hanya perempuan yang kau ajak melihat sedikit kehidupanmu. Sebatas itu saja.

Tidak tahu alibi atau bagaimana, dia sering sekali meminta maaf dan mengalihkan masalah. Lalu kemudian akan membahas yang lain seperti sedang dalam suasana netral-netral saja. Benar atau salah, dia juga sering mengatakan lebih nyaman dan senang jika bersama dengan ‘teman-temannya’. Entah teman-teman yang mana yang dia maksud. Apakah aku termasuk? Atau itu merupakan sindirannya supaya aku memberi jarak darinya. Tak ketinggalan dia juga kerap mengatakan bahwa dia tidak tahu nyaris tidak sadar atas apa yang baru saja dilakukannya. Katanya “Aku sendiri juga nggak ngerti dengan apa yang aku lakukan”. Oh Tuhan, kenapa laki-laki ini membuat teorinya sendiri.

Bagaimanapun, aku perempuan biasa Raga. Tolong berikan teori yang sewajarnya juga. Tidak kupungkiri, setelah kehadiranmu ada salah satu sisi dari hidupku yang terisi. Ada sepi yang mulai berkurang. Ada waktu dimana aku geleng-geleng kegirangan saat menemukan namamu muncul di ponselku yang berbunyi. Dan entah, semuanya serasa berbeda setelah pagi tadi.

Awalnya aku berpikir ini merupakan masalah baru lagi Raga. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa kau adalah Raga yang kukenal dulu. Kau akan kembali membuat keadaan baik-baik saja. Ah… Raga, tolong berikan aku kejelasan. Sampai sore inipun tak kunjung engkau memberikan tanda-tanda perbaikan hubungan. Engkau seperti tak mempedulikanku malah. Aku harus bagaimana Raga?


Apa secepat ini aku harus mengucapkan terimakasih? Seperti dalam film-film, ketika berterimakasih dan maaf menjadi sebuah akhir dari hubungan. Lalu, hubungan apa yang aku maksud ini Raga? Aku juga tak mengerti. Sungguh, ini (sepertinya) akan membuat penat baru lagi dan lagi.---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar