Hari ibu, beberapa bulan lalu, aku mengenalnya. Aku
memanggilnya Raga. Aku tidak pernah tahu bagaimana Tuhan merencanakan ini,
tetapi aku mengerti benar seperti apa doa-doaku selama ini. Dan seperti
pasangan-pasangan yang lain kami mencoba merangkai kenangan. Tanpa rikuh, basa-basi,
keromantisan seperti di novel-novel, dan tanpa status. Kerena katamu tidak
ingin mempunyai ‘’status itu’’. Aku pergi, tapi katamu lebih baik untuk tetap
berteman tetapi lebih dekat. Entahlah, aku sendiri terkadang bimbang
mengartikannya. Kami menjalaninya seperti matahari menyinari bumi, bulan
memberikan senyum setiap malam. Berjalan semestinya, sewajarnya. Tetapi tak
mengelak ketika matahari mulai tertutup mendung, bulan menyelinap di balik
awan. Kisah kami juga tidak jarang mengalami masalah. “Maaf”, katanya ketika
kami sedang tak sama pendapat atau ada sempilan cemburu (mungkin).
Bercerita atau sekedar sharing
membuat keakraban kami sedikit meningkat.”Harus saling mengerti”, katanya jika
aku mulai seperti anak ABG yang baru mengenal yang namanya hubungan. Aku
mengaguminya. Dari caranya mencintai keluarganya, kerja kerasnya, semangatnya, namun
tidak dengan rasa pedulinya padaku. Tapi aku tahu itu. Benar-benar mengerti.
Karena aku memang bukan siapa-siapanya. Sungguh, terkadang aku juga tak paham
dengan perubahannya yang tiba-tiba. Terkadang cuek, dan terkadang pula aku
merasa seperti dia tak ingin mengakhiri kisah kami. Ah Raga…. Kau selalu
membuatku bingung.
Pagi ini pesan singkatmu kuterima, Raga. Kau menjelaskan
tentang ‘’rencana tanggal 6-7 itu’’. Bukannya aku marah, dengan mengetahui
rencanamu itu aku tahu sesuatu. Memang sepertinya kau tak ingin aku turut serta
denganmu. Sebenarnya sempat terlintas ingin menanyakan alasanmu, tapi aku pikir
kau ingin aku menyadarinya sendiri. Iya Raga, kamu ingin mempejelas cerita
kita. Aku paham kau ingin aku tahu bahwa aku hanya perempuan yang kau ajak
melihat sedikit kehidupanmu. Sebatas itu saja.
Tidak tahu alibi atau bagaimana, dia sering sekali meminta
maaf dan mengalihkan masalah. Lalu kemudian akan membahas yang lain seperti
sedang dalam suasana netral-netral saja. Benar atau salah, dia juga sering
mengatakan lebih nyaman dan senang jika bersama dengan ‘teman-temannya’. Entah
teman-teman yang mana yang dia maksud. Apakah aku termasuk? Atau itu merupakan
sindirannya supaya aku memberi jarak darinya. Tak ketinggalan dia juga kerap
mengatakan bahwa dia tidak tahu nyaris tidak sadar atas apa yang baru saja
dilakukannya. Katanya “Aku sendiri juga nggak ngerti dengan apa yang aku lakukan”.
Oh Tuhan, kenapa laki-laki ini membuat teorinya sendiri.
Bagaimanapun, aku perempuan biasa Raga. Tolong berikan teori
yang sewajarnya juga. Tidak kupungkiri, setelah kehadiranmu ada salah satu sisi
dari hidupku yang terisi. Ada sepi yang mulai berkurang. Ada waktu dimana aku
geleng-geleng kegirangan saat menemukan namamu muncul di ponselku yang
berbunyi. Dan entah, semuanya serasa berbeda setelah pagi tadi.
Awalnya aku berpikir ini merupakan masalah baru lagi Raga.
Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa kau adalah Raga yang kukenal dulu. Kau
akan kembali membuat keadaan baik-baik saja. Ah… Raga, tolong berikan aku
kejelasan. Sampai sore inipun tak kunjung engkau memberikan tanda-tanda
perbaikan hubungan. Engkau seperti tak mempedulikanku malah. Aku harus bagaimana
Raga?
Apa secepat ini aku harus mengucapkan terimakasih? Seperti
dalam film-film, ketika berterimakasih dan maaf menjadi sebuah akhir dari
hubungan. Lalu, hubungan apa yang aku maksud ini Raga? Aku juga tak mengerti.
Sungguh, ini (sepertinya) akan membuat penat baru lagi dan lagi.---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar